BERITAPUBLIKASI

Refleksi Hardikda Ke-66: Realita dan Masa Depan Pendidikan Aceh

Oleh Ansar Salihin, M.Sn*)

Tanggal 2 September 1959 menjadi tonggak sejarah bagi dunia pendidikan Aceh. Pada hari itu diresmikan Kompleks Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam di Banda Aceh, yang kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Pendidikan Daerah (Hardikda). Sejak itulah Hardikda dipahami sebagai simbol tekad masyarakat Aceh untuk menjadikan pendidikan sebagai jalan utama pembangunan. Kini, saat Aceh memperingati Hardikda ke-66, pertanyaan penting muncul: sudahkah pendidikan Aceh bergerak sesuai cita-cita para pendahulu? Dan seperti apa wajah pendidikan Aceh yang harus dibangun untuk masa depan?

Realita Pendidikan Aceh Saat Ini

Pendidikan di Aceh hari ini memperlihatkan wajah yang penuh dinamika. Di satu sisi, ada kemajuan signifikan. Indeks Standar Pelayanan Minimal (SPM) pendidikan Aceh meningkat, program beasiswa Otonomi Khusus (Otsus) terus memberi ruang bagi putra-putri terbaik Aceh untuk belajar di dalam dan luar negeri, serta ada peningkatan kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan formal.

Namun, di sisi lain, masih banyak tantangan mendasar. Hasil asesmen nasional menunjukkan bahwa kemampuan literasi dan numerasi siswa Aceh masih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Banyak lulusan sekolah dan madrasah yang kesulitan bersaing di perguruan tinggi atau pasar kerja. Infrastruktur pendidikan di daerah terpencil juga jauh dari layak; masih ada ruang kelas rusak, akses internet terbatas, hingga kekurangan guru di mata pelajaran penting.

Fakta lain adalah tingginya angka putus sekolah, terutama di tingkat menengah. Sebagian disebabkan faktor ekonomi keluarga, sebagian lagi karena minimnya motivasi belajar. Bahkan, di era digitalisasi, masih ada sekolah dan madrasah di Aceh yang belum siap dengan pembelajaran berbasis teknologi. Semua ini menunjukkan bahwa meskipun usia Hardikda sudah 66 tahun, perjuangan memperbaiki mutu pendidikan masih panjang.

Kekhususan Pendidikan Aceh

Aceh memiliki beberapa kekhususan dalam pendidikan yang bisa menjadi modal besar. Pertama, adanya payung hukum Otonomi Khusus (Otsus) yang memberi ruang lebih luas untuk membiayai program pendidikan. Dana ini bisa digunakan secara strategis untuk peningkatan kualitas guru, pembangunan sekolah, maupun pemberian beasiswa.

Kedua, Aceh memiliki muatan lokal syariat Islam dan budaya dalam kurikulum. Hal ini menjadikan pendidikan di Aceh tidak hanya berorientasi pada akademik, tetapi juga menanamkan nilai moral, spiritual, dan kearifan lokal. Kekhususan ini sangat penting di era modern, di mana krisis karakter kerap menjadi masalah nasional.

Ketiga, Aceh punya sejarah panjang dalam bidang pendidikan, mulai dari dayah tradisional hingga universitas modern. Tradisi keilmuan ini seharusnya memberi inspirasi untuk menggabungkan nilai lama yang berharga dengan inovasi baru yang relevan.

Masa Depan Pendidikan Aceh

Tantangan ke depan menuntut pendidikan Aceh untuk bertransformasi. Abad 21 adalah era kompetisi global yang menuntut keterampilan berbeda dari generasi sebelumnya. Di sinilah pentingnya menerapkan kurikulum baru yang tetapkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yaitu pendekatan deep learning di sekolah dan madrasah.

Deep learning dalam konteks pendidikan bukan sekadar menghafal fakta, tetapi mendorong siswa untuk memahami konsep secara mendalam, mampu menganalisis masalah, berkolaborasi, berkomunikasi efektif, serta melatih kreativitas. Ini sejalan dengan enam kompetensi inti pembelajaran abad 21: critical thinking, collaboration, creativity, communication, character, and citizenship.

Bagi sekolah dan madrasah di Aceh, pendekatan ini sangat relevan. Misalnya, Siswa tidak hanya belajar rumus matematika, tetapi juga menggunakannya untuk memecahkan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran IPA tidak lagi sebatas eksperimen di laboratorium, tetapi dihubungkan dengan isu lingkungan Aceh seperti hutan, laut, dan energi terbarukan. Pembelajaran PPKN dan Pendidikan Agama tidak hanya berbicara norma, tetapi juga melatih siswa berdialog, toleransi, dan menjadi warga negara yang aktif.

Selain itu, Aceh juga perlu menyambut inovasi seperti Kurikulum Cinta yang cetuskan oleh Kementerian Agan yang menekankan pembelajaran dengan kasih sayang, empati, dan kepedulian. Sekolah dan madrasah di Aceh dapat mengadopsinya sebagai penguat karakter, bersanding dengan muatan lokal syariat Islam. Dengan begitu, siswa Aceh tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki hati yang peduli pada sesama dan lingkungan.

Transformasi pendidikan Aceh di masa depan harus diarahkan pada beberapa strategi besar, mulai dari peningkatan kualitas guru melalui pelatihan agar mampu menerapkan pembelajaran berbasis deep learning, literasi digital, dan pedagogi kreatif. Guru yang berdaya akan melahirkan murid yang berdaya. Kemudian Digitalisasi sekolah dan madrasah Internet cepat, perangkat teknologi, dan konten pembelajaran digital harus tersedia merata, tidak hanya di kota tetapi juga hingga pelosok Aceh. Selanjutnya pendidikan inklusif, anak-anak berkebutuhan khusus maupun anak di daerah terpencil harus memiliki akses pendidikan yang sama. Tidak boleh ada generasi yang tertinggal karena faktor lokasi atau kondisi fisik. Kolaborasi lintas sektor, dunia pendidikan harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat agar pendidikan benar-benar menjadi gerakan bersama. Terakhir pembangunan karakter Islami dan budaya lokal, pendidikan Aceh harus tetap berakar pada syariat dan budaya, tetapi bersifat terbuka untuk perkembangan ilmu pengetahuan global.

Penutup

Refleksi Hardikda ke-66 mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah pondasi masa depan Aceh. Meski sudah banyak pencapaian, realita hari ini masih menunjukkan banyak tantangan yang harus dihadapi. Mutu pendidikan Aceh belum sepenuhnya mampu bersaing di tingkat nasional, apalagi global.

Namun, Aceh memiliki modal besar: dana Otsus, muatan lokal syariat, dan tradisi panjang dalam dunia pendidikan. Jika dikelola dengan visi yang jelas, Aceh bisa membangun sistem pendidikan yang Islami, modern, dan berdaya saing. Pendekatan deep learning di sekolah dan madrasah menjadi jalan penting agar siswa Aceh tidak hanya pandai menghafal, tetapi juga kritis, kreatif, peduli, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.

Hardikda bukan sekadar perayaan seremonial, tetapi momentum untuk meneguhkan komitmen. Saatnya Aceh menjadikan pendidikan sebagai investasi utama, bukan beban anggaran. Dengan pendidikan yang kuat, Aceh akan kembali dikenal sebagai pusat ilmu, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di mata dunia.

*) Penulis Guru MAN 1 Aceh Besar, Ketua MGMP Seni Budaya MA Aceh Besar.

Artikel Terkait

Back to top button