(MAS Bunga Alquran Aceh Singkil- Balai Diklat Keagamaan Aceh)
Saya bernama “Siana”. Akhir September 2006, saya kembali dari Kota pendidikan Yogyakarta, membawa ijazah lulusan Ilmu Manajemen Syariah. Ibu meminta agar saya mengajar di sebuah SMA di desa kami, “SMA Persiapan” namanya. Disinilah perjalanan menapaki karir di dunia pendidikan dimulai, sebagai guru honorer dengan latar belakang bukan alumni FKIP atau Tarbiyah. Dengan Bismillah saya menjadi seorang guru, bersama legalitas administrasi lulus program Akta IV. SMA Persiapan didirikan oleh masyarakat tahun 2005, benar-benar sekolah persiapan, bangunan yang sederhana dimanfaatkan untuk dijadikan kelas dan kantor. Istilah nyaman, fasilitas lengkap, masih jauh dari harapan. Yang jelas, masyarakat desa sangat membutuhkannya, karena akses Sekolah Tingkat Atas jauh dari desa kami. Bangunan sekolah sederhana tak menyurutkan semangat para siswa untuk belajar. Meski diantara mereka seharusnya sudah lulus SMA. Inilah tantangan bagi saya, dan teman-teman guru yang lain,di desa ini ada generasi yang butuh Pendidikan. Sikap iseng, nakal, berantam, merokok, pacaran di ladang masyarakat adalah sesuatu yang melelahkan untuk kami hadapi.
Hari demi hari menjalani rutinitas sebagai guru, membuat saya tersenyum diakhir bulan. Gaji pertamaku Rp. 6000/JP. Setetes air bening jatuh basah di pipi, disertai rasa bersyukur, setelah kuliah tidak menjadi pengangguran. Allah buka jalan untuk mengabdi. Beberapa bulan kemudian, Kepala Sekolah mengajukan permohonan, agar beberapa guru yang berstatus honorer mendapatkan Tunjangan Gaji. Alhamdulillah, akhirnya saya berstatus GTT HONDA. Setiap 6 bulan, kami mendapat tunjangan dari pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dengan nominal Rp. 750.000/bulan. Tahun 2007, SMA Persiapan mendapatkan bantuan pembangunan tiga ruang belajar. Syukur tak terhingga pada bulan Agustus 2007, SMA Persiapan berubah status menjadi SMA Negeri 2 Gunung Meriah kabupaten Aceh Singkil. Siswa bertambah banyak dan gedung juga sudah baru. Sejak tahun 2009, PNS bertambah, tentulah jam mengajar kami sebagai guru honorer berkurang. Untuk mengisi waktu, sejak saat itu setelah selesai tugas mengajar di sekolah, pada sore hari saya mengajar di TPA bersama beberapa teman yang berkomitmen untuk mendirikan pendidikan Alquran di desa kami. Tresno jalaran suko kulino, salah seorang PNS yang bertugas di sekolah, menaruh hati kepadaku. Dengan izin Allah, pada tanggal 6 Mei 2011, kami menjalankan sunnah Rasul, menikah untuk menggenapkan setengah agama.
Sampailah perjalanan sebagai pendidik pada tanggal 26 Mei 2011, saya berpeluang mengikuti seleksi guru yang diadakan oleh sebuah Perusahaan. Perusahaan tersebut memiliki Yayasan Pendidikan mulai dari TK sampai Madrasah Aliyah. Alhamdulillah saya lulus, dari 50 peserta tes, Allah perkenankan saya menjadi salah seorang dari 5 orang guru yang diterima mengajar di MAS Bunga Alquran. Madrasah ini baru berumur 1 tahun, dengan jumlah siswa 41 orang. Kegiatan pembelajaran Madrasah Aliyah masih satu atap dengan Madrasah Tsanawiyah, begitu juga kantor guru masih satu ruang. Lokasi tempat mengajarku yang baru berjarak 7 KM dari rumah. Selain lokasi yang jauh, perjalanan menuju madrasahpun membutuhkan perjuangan. Saat musim penghujan tiba, jalan yang dilalui harus ditapaki dengan sabar, berstamina dan hati yang tegar. Jalanan becek dan berlumpur serta banjir itulah satu-satunya jalan agar sampai ke madrasah. Sebaliknya, jika kemarau melanda harus siap menghadang abu jalanan yang memutihkan rok atau celana berwarna gelap. Kenapa kami bertahan dengan kondisi seperti ini? Karena kami merasa sejahtera di sini. Alhamdulillah ya Allah, kenangan dan suka duka sang guru di tahun-tahun sebelumnya kini berubah menjadi nikmat. Karyawan tetap sebagai guru di perusahaan memperoleh gaji sesuai UMR disertai tunjangan-tunjangan lainnya.
Di madrasah ini, kami mendidik anak-anak karyawan dan anak-anak masyarakat di sekitar perkebunan. Mendidik anak karyawan itu sebenarnya penuh tantangan. Kami harus mampu menahan diri dari segala sikap mereka, karena orang tua mungkin saja datang ke madrasah dengan gayanya yang khas. Sementara, para siswa yang berasal dari perkampungan tinggal jauh dari madrasah. Dengan segala keterbatasan, mereka tetap mau belajar, nurani kami sebagai guru benar-benar diuji. Mereka tidak memiliki fasilitas dan sarana yang menunjang keberhasilan belajar mereka. Kondisi ekonomi orang tua, dalam taraf menengah ke bawah, membutuhkan guru-guru yang kreatif dan inovatif. Mereka hanya menunggu apa yang diberikan oleh guru, tanpa daya untuk mencari tambahan ilmu. Namun demikian, potensi hebat sudah tergambar pada diri siswa kami. Dalam kondisi seperti itu, mereka mampu berprestasi di ajang olimpiade dan kompetisi sains tingkat kabupaten. Suatu hari aku menangis, siswaku berprestasi tapi harus berhenti mendapatkan pendidikan. Menjadi mahasiswa adalah beban bagi orang tua, mereka tidak mampu membiayai anaknya ke perguruan Tinggi. Air mata guru mulai menetes, hatiku sedih. Keterbatasan ekonomi memasung cita-cita mereka, apalah daya, diri ini hanya mampu mengarahkan dan memotivasi saja.
Saat ini, telah banyak perubahan yang terjadi di madrasah kami. Pola pikir orang tua semakin maju, muncul kesadaran untuk lebih siap membantu pencapaian hasil belajar anak-anak mereka. Sebagian orang tua telah mampu membekali mereka dengan handphone android, sehingga kondisi pandemi tidak membuat para siswa kami tertidur dalam mimpi panjangnya. Kondisi ini juga sebuah anugerah bagi guru, kami belajar menguasai teknologi digital. “Sang guru” terus belajar, memperbaiki kualitas dan kompetensi, demi generasiku. Di setiap akhir pembelajaran, selalu terselip sepatah pesan “Anak-anakku, belajarlah yang giat, sepahit apapun proses yang harus kalian lalui untuk menjemput kesuksesan dimasa yang akan datang, jalanilah dengan ikhlas, karena Allah tidak melihat hasil. Allah melihat proses yang kalian jalani, ikhtiar, sabar dan do’a adalah kunci untuk mencapai keberhasilanmu”.
Saya, “Nirwani Jumala”, juga pernah menjadi “Sang Guru”. Menikmati romantika bangku madrasah bersama para sejawat dan anak didikku. Saya terlahir dalam profesi “bidan”, bertugas pada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar. Masa itu, saya berkenalan dengan fisik kecil yang tumbuh dan berkembang di alam kandungan. Tubuh kecil itu dapat diraba dan didengar denyut jantungnya. Namun getaran cinta tidak begitu kuat, tidak ada air mata ketika kedua tangan menyambut kelahirannya. Semuanya biasa saja. Melihat mereka menangis ketika diimunisasi, berlarian dalam kegiatan posyandu, terdiam lemas dalam deman, juga biasa saja. Saya bermutasi menjadi Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana. Masih bertemu anak-anak kecil dalam program kegiatan dan survey. Kadangkala sang anak-anak kecil bersama keluarganya dalam status keluarga prasejahtera. Dalam keterbatasan ekonomi dan latar belakang pendidikan orang tua sang anak-anak kecil mendapatkan pendidikan informal. Hati mulai tersentuh dengan peadagogik, bukan karena keterbatasan mereka, tetapi karena saya juga seorang dosen yang mengajar calon guru.
Bagaimanakah masa depan pendidikan ditangan calon guru ini? Saya harus menikmatinya, apakah benar guru adalah profesi mulia? Allah mudahkan jalan tanpa liku-liku proses administrasi dan birokrasi yang rumit. Tahun 2011 saya sudah pindah tugas menjadi PNS di Kementerian Agama dalam jabatan guru PAI. Dari MAN Sibreh, dimutasi ke MAS Nurul Hikmah, berakhir di MTsN 2 Aceh Besar. Diantara waktu tersebut, saya juga mengalami suka duka sebagaimana dikisahkan sahabat saya “Siana”. Saya pernah merasakan sebagai guru SMA persiapan pada tahun 2012. Sahabat saya, sang Kepala Sekolah memberikan kepercayaan bagi saya untuk menjadi guru sejarah, yang mengajarkan ibrah dan ‘itibar dari peristiwa kehidupan. SMA inipun saat ini menjadi salah satu SMA Negeri kebanggaan warga Cot Keueung Aceh Besar.
Sesuatu yang luar biasa hadir, ketika saya menjadi “Sang Guru”. Mereka menyebut “ibu guru atau ustazah”. Mereka menunggu kehadiran saya di kelas, mereka bersabar dan bersemangat dalam kegiatan ekstrakurikuler. Inilah hari-hari ketika hati menjadi lembut. Jeritan rasa sakit dari pasien tidak membuat air mata tumpah, tetapi untaian kata dan kalimat ilmu yang keluar dari lisan dan tulisan anak didikku membuat hati dan otakku bersatu. Inilah keajaiban “Sang Guru”, dipenuhi ambisi untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dipenuhi cinta kepada sang anak meski tidak dilahirkan. Mereka mampu menggetarkan hati, untuk merasakan keagungan Allah dalam anugerah dan rahmat tak terhingga. Apalagi ketika mereka mengungkapkan cinta dan kerinduan pada “Sang Guru”. Mereka adalah kebanggaan bagi “Sang Guru”, karena mereka adalah masa depan kita semua.
Semoga anak-anakku memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, menjadi lebih baik dan lebih sukses dari “Sang Guru”. Kami tetap disini menunggu kabar keberhasilanmu. Tak perlu kalian datang memberitahu, cukup kami mendapat berita darimu atau dari angin lalu. Kami hanya ingin namamu disebut dalam kebaikan, sebagai balas budimu untuk kami. “Sang Guru” hanya ingin menjadi pribadi yang bermanfaat untuk diri dan orang lain, mengabdi tanpa batas sampai takdir menyelesaikan semuanya.
Penulis:
Siana dan Nirwani Jumala